Sunday, November 25, 2012

Makalah HAM



MAKALAH
HAK ASASI MANUSIA







 
DISUSUN OLEH :
DIANA DWI PRATIWI (04)
KELAS X - 4




SMA NEGERI PATIKRAJA
TAHUN 2012/ 2013

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Makalah Hak Asasi Manusia ”
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga nantinya pada penyusunan makalah selanjutnya hasilnya akan lebih baik.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan. Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun khususnya, dan para pembaca pada umumnya.
           Patikraja, 26 November 2012

Penyusun






DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................  i
KATA PENGANTAR .........................................................................................  iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB   I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang .........................................................................................  1
B.  Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
BAB   II PEMBAHASAN
A.  Makna Dan Hakikat Ham ........................................................................  2
B.  Perkembangan Pemikiran HAM ..............................................................  3
C.  Ham Di Indonesia ....................................................................................  4
D.  HAM dalam Amandemen 1945 ..............................................................  4
E.   Bentuk Bentuk HAM ..............................................................................  5
F.   Nilai Ham Antara Nilai Universal Dan Kontekstual ...............................      6
G.  Pelanggaran HAM ...................................................................................  7
H.  Penegakan Hukum ...................................................................................  8
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan ............................................................................................... 9
B.  Saran ........................................................................................................  9
Daftar Pustaka ......................................................................................................  10





BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Untuk memahami hakikat HAM terlebih dahulu memahami pengertian dasar tentang hak. Secara defenitif hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai sebagai pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dan menjaga harkat dan martabatnya.dengan demikaian hak merupakan unsur normatif.
Dalam UU HAM pasal 1 menyatakan bahwa “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebenaran manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi  dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. hakikat HAM merupakan upaya menjaga eksitensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum, begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi  HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) dan Negara.
B.     RUMUSAN MASALAH
Beberapa rumusan masalah yang dapat dikaji dari uraian-uraian di atas, antara lain:
  1. Apa yang dimaksud dengan hakikat, dan pengembangan HAM ?
  2. Jelaskan tentang Hak Asasi dalam Islam, HAM di Indonesia, dan HAM dalam Amandemen 1945 ?
  3. Tuliskan dan jelaskan apa saja yang termasuk dalam pelanggaran ham dan penegakan hukum? Download Makalah Lengkap Klik Disini

Read More »»  

Cerpen : IBU MENINGGAL



Ibu Meninggal
Cerpen: Hudan Hidayat

HINGGA hari ini aku masih belum percaya ibu telah meninggal. Keluargaku memang belum pernah kehilangan. Kini aku begitu merindukan ibu. Menyesal belum sempat membuat ibu bahagia.

Kehilangan itu membuatku begitu hampa. Segalanya seolah menjadi tak berjiwa. Aku seakan tak mendengar bunyi apa pun, saat pulang ke rumah dan mengepak barang yang akan kubawa. Anak-anak dan istriku sudah siap dengan bawaan mereka. Tapi aku seolah kehilangan pijakan. Kedua kakiku rasanya melayang. Aku seolah meluncur ke dalam lubang yang tak bisa kuhentikan.

Semua kenangan masa kecilku kuingat kembali. Waktu muda dan saat aku masih kecil, ibu begitu cantik. Lembut, meski keras dalam sikap. Aku bangga punya ibu seperti ibuku. Waktu ayah miskin aku membantu ibu jualan beras di Pasar Enam Belas. Aku juga sering menagih orang yang kredit dengan ibuku. Semua tugas itu hanya aku yang melakukannya. Entah mengapa ibu tidak pernah menyuruh kakak atau adik-adikku. Tapi justru itu yang membuat aku dekat dengan ibu. Waktu ibu sakit aku kasihan sekali. Aku ingin membantunya tapi tidak bisa: sakit ibu sudah parah. Aku tidak pernah acuh pada ibu. Memang kuakui aku tumbuh dengan pikiranku sendiri dan sibuk dengan diriku sendiri. Mungkin ibu berpikir aku seolah tidak peduli. Padahal dalam hati aku selalu sayang ibu. Selalu mengingatnya. Kini ibu sudah tiada. Sudah benar-benar hilang dari keluarganya.

Lain sekali rasanya kematian itu. Sore itu kami mengaji di makam ibu. Ada bentangan daun dan kembang. Juga bunga yang ditabur di makam. Sejam yang lalu aku ikut turun ke liang itu, membaringkan tubuh ibu. Meletakkan wajahnya ke dalam lubang yang tepinya digali lagi, membentuk kedalaman sendiri. Lubang yang miring. Entah mengapa saat itu aku teringat sebuah kisah: lubang dalam lubang, yang tadinya aku belum begitu mengerti maknanya. Tapi, menghadapi lubang kubur ibu, serta lubang yang digali lagi dalam lubang kubur ibu, aku jadi benar-benar mengerti kisah itu: lubang cahaya. Ya, kurasakan lubang ibu adalah lubang cahaya. Tempat di mana seorang perempuan yang baik budi semasa hidupnya terkubur di sana. Wajahnya terbenam dalam lubang itu, masuk ke dalam liang yang aku sendiri ikut menggali dan menanam tanah penyangga tubuhnya. Aku juga membukakan tali-tali yang mengikat kepala ibu, tubuh, dan kaki ibu. Kubuka ikatan-ikatan tali itu. Seolah membuka ikatan masa lalu, di mana aku terbenam di dalamnya. Sejenak melintas saat aku menghentak-hentakkan kaki, maju mundur meminta uang pada ibu di jalan. Ibu marah dengan sayang. Wajahnya merajuk lalu tersenyum. Diraihnya tubuhku dan diciumnya kepala dan mukaku. Anakku sayang,anakku sayang, kata ibu. Hanya itulah yang keluar dari mulut ibu. Ia memandangi anaknya. Seolah Tuhan memandangi dunia. Duh, perempuan yang baik hati, kini kau telah pergi. Telah benar-benar meninggalkan kami.

Kini aku hanya memiliki seorang ayah. Aku harap ayahku selalu sehat dan kuat. Tidak sakit-sakitan seperti ibu. Aku sayang sekali denan ayahku. Ayahlah yang mendidikku dalam banyak hal. Caranya mendidikku luar biasa: aku dibiarkannya melakukan apa saja yang aku suka, tidak pernah melarang. Dulu aku memimpikan ayahku dua kali: ayah begitu marah padaku dan meninggal dalam mimpiku. Aku begitu sedih sampai terbangun. Tercekam dengan mimpiku. Masih tersisa wajah ayah yang marah. Aku tidak begitu mengerti apa yang membuat ayah sangat marah. Tetapi lelaki tegas dan gagah itu memandangku dengan raut membesi. Jiwaku menggigil melihatnya. Ayah, apa salahku sampai kau marah begitu? Ini anakmu, yang sangat sedih karena bermimpi ayah telah mati. Tapi ayah tetap diam. Wajahnya sukar dilukiskan: terpaku di tempatnya, matanya seakan mengeluarkan api. Membakar tubuh dan jiwaku. Membuat aku putus asa, sedih dan berduka. Ada apa Ayah? Mengapa kau demikian marah padaku? Apakah salah anakmu ini?

Entah mengapa aku mengenang mimpi itu, saat adik perempuanku menelepon, mengabarkan ayah sakit di Tanjung Balai Asahan. Dalam telepon adikku menangis. Suaranya terbatabata. Ayah sakit keras. Dibawa naik kapal dari India. Hanya ditemani seorang kawannya. Aku terdiam. Segera kuingat kelompok jamaah kawan-kawan ayah yang kuantar ke bandara. Terngiang-ngiang kata-kata ayahku. Ayah akan empat bulan di luar negeri, berkeliling dari masjid ke masjid di Malaysia, India, dan kalau mungkin, Banglades. Hidup berdasarkan pemberian orang. Makan dan tidur di masjid. Kami tamu di sana. Setelah tiga hari sang tuan rumah boleh tidak menganggap tamu lagi. Artinya sang tamu harus pergi. Akan mencari masjid lain. Begitulah akan terjadi selama empat bulan. Ayah dan kawan-kawannya akan melalukan syiar agama dari masjid ke masjid di sana.

Suara adikku terdengar lagi. Adek sudah menuju bandara. Kita bertemu di bandara dan berangkat dengan pesawat pertama.

Aku merasa dia sudah mengendalikan diri. Agak tenang. Tetapi justru aku yang mulai tidak tenang. Penuh tekanan saat aku berusaha mengatakan sesuatu padanya. Seolah segala suka-duka keluargaku masuk ke dalam tekanan itu. Segera kukabarkan keluargaku yang lain. Kutelepon kakakku. Dia termenung mendengar kabar dariku. Bertanya. Lalu diam. Aku menyadarkannya kembali. Sebaiknya kita berangkat bersama. Ada pesawat Garuda pukul 14 siang ini. Aku menelepon lagi. Ayah sakit kritis, Jen. Beriap-siaplah. Kami yang di Jakarta akan berangkat segera ke Medan. Kalian yang dari luar kota sebaiknya berkumpul di Jakarta. Setidaknya menunggu kabar dari kami.

Seperti aku pertama kali mendengar kabar sakitnya ayah, adikku pun diam tak berkata-kata. Aku hanya mendengar nada kosong dalam telepon. Lalu suaranya yang sangat pelan. Aku berangkat hari ini juga. Jalan darat ke Jakarta.

Sebuah SMS masuk ke dalam teleponku.Aku membukanya sambil mengemudi. Aku tak mau melihat pengirimnya lagi. Pasti kabar tentang ayah. Mobilku tertahan di lampu merah di bawah jembatan flyover Kebayaron Lama. Aku membaca SMS itu, saat wajah seorang lelaki yang muncul tiba-tiba dari kaca kanan mobilku. Aku masih sempat membaca kalimat pertama.

Assalamualaikum. Nama saya Abdullah. Jemaah Majelis Tabligh dari Aceh...

Aku menyimak lelaki itu. Kehadirannya yang begitu mendadak membuatku kaget. Aku melihat tonjolan-tonjolan daging di sekujur tubuhnya. Kulit lelaki tua itu keriput dan menghitam. Penyakit kulit membuat tubuhnya rusak dan nampak mengerikan. Lidahnya terjulur di antara mulutnya yang lebar, membuatku merasa seolah lelaki itu bukan manusia. Tetapi ia adalah manusia. Hanya kehidupan telah mengalahkannya.

Lelaki itu tidak menunjukkan isyarat apa pun. Diam dan mematung di balik kaca mobilku. Matahari menusuknya. Tonjolan-tonjolan daging di tubuhnya melepuh dan mengeluarkan minyak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya. Sorot matanya kosong tak menunjukkan keinginan. Seolah kehadirannya di tengah jalan itu hanya mekanis, dari sebuah pekerjaan rutin untuk meneruskan hidup. Aku merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sikapnya yang memilukan itu membuatku tak sampai hati. Bagaimana menolong lelaki ini? Aku mulai menggenggam uang seratus ribu, sambil memikirkan lelaki itu. Aku kira lelaki seusianya sudah tidak pantas lagi di jalan raya. Tapi toh lelaki ini tetap di jalan raya. Ke manakah keluarganya, pikirku. Aku jadi teringat ayahku. Siapakah yang menolong ayah waktu sakit di luar negeri? Pasti berat sekali, ayah membawa tubuhnya sendiri.

Aku sangat menyesal, karena lampu hijau membuat aku harus meninggalkannya. Aku belum sempat memberikan uang seratus ribu itu. Mestinya aku tadi tidak sibuk berpikir. Tetapi aku telah berpikir dan uang itu tetap di tanganku.

Benarkah ini nomor Bapak Hudan, putera dari Bapak Jemat. Semoga benar. Saya sudah mengontak nomor-nomor di HP ayah kalian. Seseorang yang saya kontak menyebutkan antara lain nama Bapak...

Jadi, seseorang di Tanjung Balai telah menolong ayahku, dengan mengontak segala nomor yang ada di telepon seluler ayah.

Bapak Jemat sakit keras. Ayah kalian terbaring di klinik sederhana di Tanjung Balai. Segeralah ke sana sebelum semuanya terlambat.

Kalimat-kalimat akhir SMS itu bergaung dalam jiwaku. SMS itu mengingatkanku berita kematian ibu. Pagi itu aku sudah berada di mobil dengan istriku, menuju kantor. SMS itu masuk, hanya gabungan kata-kata, yang kalau kita hilangkan bagian-bagiannya tak memiliki arti apa pun. Hari-hariku sering disibukkan dengan memenggal-memenggalnya. Mengujinya apakah artinya masih dalam maknanya. Sering aku menghadapi gabungan kata "kematian" dalam kesepian kamar kerjaku di waktu malam. Saat istri dan anak-anaku sudah tertidur, aku naik ke atas dan masuk ke kamar kerjaku.?Di sanalah aku. Menguji kata atau kalimat yang kusukai untuk diriku. Kematian tidak menakutkan. Tidak lebih dari ujung sebuah perjalanan, di mana kita berhenti di suatu tempat. Perjalanan itulah kehidupan. Perhentian itulah kematian. Begitulah kalimat yang terbentang di meja kerjaku. Kalimat yang kusukai. Lalu aku memenggal-menggalnya. Kupisahkan katakata itu dan aku kini hanya menghadapi sebuah penggalan kata "kematian", "perhentian", dan "kehidupan". Gabungan huruf yang masih bermakna. Lalu kupenggal lagi. Kuhilangkan lagi sampai dia menjadi huruf-huruf mati dan hurufhidup. Terbentang di mejaku sesuatu yang tidak bermakna sama sekali. K, P, K, huruf dari sebuah awal yang bisa apa saja. Yang jelas sudah tidak menunjuk lagi fakta tentang kehidupan yang berhenti. Huruf atau kata yang terpenggal ini di mana menakutkannya? Tidak ada. Kita bisa santai menghadapinya. Kita bisa bermainmain dengannya. Mengisinya sesuka hati.

Tapi, pagi itu, aku diharu-biru oleh gabungankata-kata itu. Seakan kata-kata yang kupenggal itu seolah marah, seolah-olah dia makhluk bernyawa di mana penggalan yang kulakukan seakan telah membunuhnya. Menghisap darahnya, sehingga ia menggelepar tak berdaya. Dan, kini semua kata yang sering kupenggal itu bangkit menunjukkan dirinya. Menghantam tepat di pusat kesadaran jiwaku. Membuatku luluh-lantak. Begitulah kudengar berita kematian ibu melalui SMS itu. Aku seolah bermimpi. Seakan tak percaya kalimat-kalimat dalam SMS itu. Ibu kita telah tiada. Beliau menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Bengkulu...

Aku meledak dalam tangis yang mencekam. Aku sudah berusaha menahannya tapi tangis itu seolah makhluk bernyawa yang tak bisa kuhentikan. Aku memutar mobilku sambil menangis. Istriku menyabarkanku tapi tak lama kemudian dia pun ikut menangis. Anakku yang baru berusia 3 tahun mungkin menangkap dengan batinnya. Dia mengucapkan kata-kata dengan wajah anak yang tak mengerti. Ada apa Papa. Mana penjahatnya. Mari kita tembak penjahatnya. Istriku mengelus-elus kepala anakku. Dia belum tahu permainan orang dewasa dengan tangisnya. Tangis yang menyimpan riwayat kesalahan dan dendam. Tangis dari sebuah kehidupan yang tiba-tiba terputus. ***
(Kenangan untuk ibuku)
Read More »»  

Cerpen : ATHEIS



Atheis
Cerpen: M. Dawam Rahardjo

KAKAK kami Suparman kini tinggal di Jakarta menjelang masa pensiun. Tapi ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah perusahaan konsultan sendiri, dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah seorang arsitek lulusan ITB. Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di sebuah perusahaan. Setelah mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan sendiri bersama beberapa orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju, berkat kegiatan pembangunan di Ibu Kota.

Kakak kami itu ialah saudara tertua dalam keluarga kami yang tinggal di sebuah desa bernama Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30 kilometer dari Kota Solo. Daerah tempat tinggal kami itu dikenal kering. Dulu sering kali menjadi berita di koran karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah terjadi busung lapar. Kini Wonogiri tidak lagi kering seperti dulu karena di situ dibangun waduk Gajah Mungkur. Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu dan jagung selain sawah padi. Waduk ini juga menjadi pusat pariwisata yang dikunjungi terutama oleh orang-orang Solo. Keluarga kami, keluarga Parto Sentono lebih populer dipanggil Kiai Parto adalah sebuah keluarga yang religius. Ayah kami itu adalah seorang petani yang juga berperan sebagai ulama lokal karena ia adalah santri lulusan Mamba'ul Ulum dan tinggal di pesantren Jamsaren. Jadi ia pernah berguru kepada KH Abu Amar, Ulama Solo yang masyhur itu. Itulah sebabnya Kiai Parto mengirim kami, anak-anaknya, ke pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Mas Parman sebagai anak tertua dikirim ke Gontor Ponorogo yang jaraknya tidak jauh dari desa kami. Kakak saya yang kedua Muhammad Ikhsan dipondokkan ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji Hamam Ja'far. Saya sendiri sebagai anak ketiga cukup bersekolah di Madrasah Al-Islam, Honggowongso, Solo. Jadi saya punya dua orang adik. Yang pertama, dikirim ke Tebu Ireng, sedangkan adik saya yang paling bontot disuruh belajar ke madrasah Mu'alimat Muhammadiyah, Yogyakarta.

Walaupun semuanya berlatar belakang pendidikan pesantren, kami semua mempunyai profesi yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman menjadi seorang arsitek, sedangkan saya sendiri menjadi petani jagung dan ubi kayu meneruskan pekerjaan bapak. Karena itulah, saya adalah anak yang paling dekat dengan keluarga dan menyelenggarakan pertemuan halalbihalal setiap tahun dengan keluarga.

Bapak merasa sangat bangga anaknya bisa masuk ke pondok modern Gontor. Mas Parman sendiri juga merasa mantap berguru dengan Kiai Zarkasi dan Kiai Sahal. Di masa sekolah dasar, kami semua dididik langsung oleh bapak kami. Mas Parman ternyata berhasil menjadi seorang santri yang cerdas. Bapak sangat berharap kelak Mas Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak memang tidak mengikuti perkembangan anaknya itu sehingga ia merasa terkejut ketika pada suatu hari ia berkunjung ke Gontor, anaknya itu ternyata sudah tidak lagi bersekolah di situ. Namun sebentar kemudian, ia mendengar di mana anaknya berada. Ternyata Mas Parman yang pandai matematika itu ikut ujian SMP negeri dan lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia kemudian melamar untuk bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2 atau SMA B yang terletak di Banjar Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1 jurusan sastra budaya. Sehingga ia banyak bergaul dengan pelajar-pelajar sastra. Walaupun belajar ilmu eksakta, Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia bisa melukis dan membuat puisi. Ia ikut di klub sastra remaja yaitu sastra remaja Harian Nasional di Yogya. Bapak tidak bertanya banyak kepada anak sulungnya itu. Walaupun ia merasa sangat kecewa dan agak marah karena Mas Parman telah mengambil keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Bapak dulu. Saya mewakili keluarga menanyakan perihal keputusannya itu kepada Mas Parman. "Mas, kenapa tidak minta izin bapak dulu ketika Mas keluar dari Gontor?," tanyaku pada suatu hari.

"Kalau aku bilang dulu pada bapak, pasti tidak dikasih izin," jawabnya.

"Kenapa pula Mas berani mengambil keputusan besar itu?" tanyaku lagi. "Aku ternyata tidak betah tinggal di pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah masyarakat buatan. Kami hidup menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk desa. Kami di pondok menganggap diri sebagai keluarga ndoro," jawabnya lagi.
"Itu kan karena kepentingan para santri sendiri supaya tidak terkontaminasi oleh pengaruh luar," jelas saya.

"Tapi hidup kan menjadi artifisial, santri hanya diajar sesuatu yang baik tapi tidak mengetahui dunia nyata yang tidak terlalu bersih. Malah banyak kotornya."

"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?" tanya saya.

"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok."

"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin."

"Pokoknya aku bosan, yang lebih mendasar lagi aku tidak bisa menerima pelajaran-pelajaran agama. Kupikir pendidikan semacam itu tidak berguna, karena tidak membekali santri untuk bisa hidup dalam realitas yang sering keras itu di luar dunia pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah payah mencapai kelulusan. Itulah maka aku mengambil keputusan untuk pindah sekolah."

"Mas Ikhsan ternyata senang nyantri di Pabelan," ujar saya.

"O... Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya juga alumni Gontor, tapi ia bisa berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas bergaul bahkan diharuskan. Kiai Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk menyelenggarakan program lingkungan hidup. Pesantren bahkan menyediakan air bersih yang diolah dari kali Pabelan untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga membuat pemandian umum desa. Sehingga santri-santrinya bisa bergaul dengan penduduk desa setiap pagi sore sambil mandi bersama."

Mas Parman kemudian melanjutkan perubahan di dalam hidupnya. "Har, aku ingin memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di Solo. Aku sekarang sudah tidak menjalankan salat, juga puasa Ramadan," katanya jujur.

"Mas, apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak pasti akan marah besar sama Mas," jawab
aya.

"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adikku yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.

Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. "Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.

"Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."

"O... boleh saja, jadi aku sekarang sudah tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim."

"Kalau begitu, Mas telah murtad?" tanyaku.

"Ya, sebelum hukuman murtad dijatuhkan kepadaku, aku lebih baik keluar saja dulu dari Islam. Sekarang siapa pun juga tidak berhak menghakimiku."

"O... begitu, aku pun tidak akan menghakimimu. Cuma aku ingin bertanya apakah Mas telah meninggalkan seluruh akidah Islam?" tanyaku ingin tahu.

"Ya, aku sekarang seorang atheis, aku sudah tidak percaya kepada Tuhan."

"Lalu status Mas sekarang sebagai apa?" tanyaku.

"Aku sudah menjadi humanis. Aku bercita-cita ingin menjadi pemikir bebas."

"Untuk menjadi orang seperti itu kan tidak perlu meninggalkan akidah. Islam memberi kebebasan."

"Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan."

"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik."

"Inilah yang saya tidak setujui dalam Islam. Seperti kamu tahu sendiri, perbuatan baik itu tidak diakui Tuhan jika tidak didasarkan kepada iman. Mengapa harus begitu. Buddha Gautama mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mensyaratkan iman kepada-Nya. Demikian pula Konghucu. Aku suka dengan dua agama yang kita sebut sebagai agama bumi itu. Aku ingin menjadi orang baik tanpa iman. Kalau mendengar keteranganmu itu terkesan olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, bukannya sebaliknya."

"Astaghfirullahal'adzim."

"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."

"Berlindung aku dari bisikan semacam itu."

"Sorry ya, jangan anggap aku sesat. Semuanya itu sudah kupikirkan dan kurenungkan dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas menjadi humanis."

"Tapi aku yakin bahwa Islam akan membawaku ke sana, tapi sampean punya pendapat yang lain dan aku ingin belajar darimu sebagai seorang kakak tertua."

"Kamu tidak perlu jawaban verbal dariku. Lihat saja perbuatanku. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa ditemui dengan perbuatan baik di dunia ini."

"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan."

"Tidak! Aku tidak bisa percaya pada adanya Tuhan. Aku hanya ingin berbuat baik kepada sesama manusia berdasarkan alasan-alasan yang rasional saja."

"Wah, menurutku manusia yang percaya kepada Tuhan itu tentu akan terdorong untuk berbuat baik, karena itu apa salahnya kita percaya akan adanya Tuhan."

"Ya terserah. Cuma saya tidak mau percaya kepada Tuhan yang diciptakan manusia. Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa Hindu maupun Yunani."

Begitulah Mas Ikhsan menceritakan kembali dialognya. "Lalu bagaimana tanggapan dan sikapmu?"

"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai."

"Lalu bagaimana pandanganmu mengenai kakak kita itu?"

"Aku tidak menganggap dia orang sesat. Ia hanya memilih suatu jalan hidup. Dalam hatiku, aku percaya bahwa Mas Suparman itu sebetulnya percaya kepada Tuhan. Cuma dia tidak mau merumuskan apa Tuhan itu. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa apa pun yang kita pikirkan mengenai Tuhan, itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani saja, tidak perlu dirasionalkan. Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja dikemukakan. Biar dia tidak percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan melaksanakan ajaran Islam menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita mensyaratkan iman kepadanya."

Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.

Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu'alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela.***
Read More »»