Anak Semata Wayang
Cerpen: Whani Darmawan
SELEMBAR diary
tersibak, sebaris puisi tertera...
Ayah,....
Tuliskanlah darahmu, di atas
kanvas putih jiwaku. Agar tak hanya kukenang selalu, tetapi mengalir juga dalam
derasan darahku....
Wanadri tertegun. Jelas itu buku
harian anaknya yang masih berusia delapan tahun. Apakah anak usia sewindu bisa
menulis seperti itu? Jangan-jangan ia hanya menjiplak bait puisi yang ia
temukan dalam koleksi buku yang ada di rak. Tetapi apa maksudnya? Mengertikah
ia?
Wanadri meletakkan sapu yang
sedang dipegangnya. Ia duduk, seolah bersiap memecahkan teka-teki sudoku
yang gampang-gampang sulit.
"Hidup seperti mimpi,"
gumamnya kemudian tanpa mengerti pasti mengapa tiba-tiba kalimat padat itu
terlontar demikian. Mungkin, ya, hidup memang seperti mimpi. Sudah setara umur
anaknya ia menduda, semenjak Surati isterinya meninggal dalam kecelakaan
gantung diri. Waktu itu Surati ketakutan tak mampu menjawab kebutuhan ekonomi,
dan ketakutan akan hamil lagi. Wanadri merasa, kadang peristiwa dan persoalan
hidup memang sulit untuk dipahami, kendati sesuatu sungguh-sungguh terjadi.
Cerita seperti yang terjadi pada dirinya kadang-kadang lebih bisa dipercaya
jika dilihat sebagai film. Ia sendiri dulu juga pernah menyangkal, kenapa
kepahitan hidup bisa menimpa dirinya, tetapi selang ia merenung, ia sendiri
menganggap bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sombong. Seolah
menafikan dirinya sebagai manusia yang tak bakal bisa terjamah oleh peristiwa
pahit sepahit-pahitnya. Ia pun menghela napas dan tafakur sejenak memohon
ampunan atas kelancangan pertanyaannya itu kepada Tuhan.
Wanadri mengempaskan napasnya.
Masa itu sudah lama sekali.
Wanadri sudah tak ingin mengingatnya. Tetapi ada yang ia lupa. Lupa mengingat
rasa sakitnya. Itu mengherankan dirinya. Sudah lama ia tidak lagi bisa
merasakan apakah ia sedih ataukah gembira, apakah perlu menangis ataukah
tertawa. Seolah semua kelengkapan hidup, penderitaan, semua sudah lewat.
Anaknya semata wayang menggoreskan tekad, bahwa ia tidak boleh menghindar dari
tanggung jawab.
Wanadri menyadari gerunjalan
napasnya, dan kembali menunduk mencermati jilidan kertas tulis di
tangannya,....
Ayah,
Rekamlah kisahmu dalam
recorder otakku. Agar tak hanya terngiang selalu, tetapi mengebor dalam pilihan
sikap hidupku. Agar senantiasa cerita kepahlawanan sehari-hari menjadi milikku.
Menjadi kakiku.
Ia tulis ini semua tentang
kepahlawanan? Dari mana anak ini mampu menulis dengan bahasa dan pemaknaan
sedalam itu!? Wanadri tak ingin mengecilkan arti anak kecil, ia hanya merasa
takjub setakjub-takjubnya. Apakah ada kelainan spiritual pada anaknya tersebut?
Ataukah kecerdasan emosinya terlalu tinggi? Hmm,...kepahlawanan. Itukah yang
selama delapan tahun Wanadri lakukan kepada anaknya? Wanadri tak yakin dirinya
seheroik kata-kata itu. Sepenuhnya ia hanya merasa tanggung jawab. Lumrah kalau
ia melakukan hal-hal yang itu bisa mencukupi kebutuhan jiwa-raga anaknya. Oleh
teman-temannya, Wanadri dijuluki sang akrobater. Pemain sirkus. Tentu, julukan
itu bermakna canda, ledekan, sekaligus serius. Pagi hari sebelum termenung di
hadapan mesin tulis, ia memasak untuk sarapan anaknya, kemudian mengantarnya ke
sekolah. Siang pada saat ia istirahat, ia menjemput anaknya. Jika tak satu pun
teman anaknnya itu muncul, ia taruh anaknya di antara tumpukan kertas, koran
dan buku. Menggambar, mencoret-coret, menjadi permainannya yang biasa. Kadang
waktu menulis dan mengasuh anak bertubrukan tak terelakkan. Wanadri sering
memilih untuk menemani anaknya. Ada
kalanya antara perasaan dan tubuhnya ia rasakan seperti cerai-berai. Antara
tubuhnya yang lelah dengan kehendak ingin menemani anaknya guna mendapatkan
dunia permainan yang semestinya sesuai umurnya. Bahkan ia pernah punya suatu
simpulan atas peran orangtua kepada anaknya dan kemauan untuk menulis. Di
tengah kepap pikirannya ia sering menarik napas dalam, "Ini keperkasaan
ataukah kebodohan?" gumamnya. "Ataukah sesuatu yang biasa saja."
Apakah sikap bela semacam itu
yang diterjemahkan anaknya menjadi kata "pahlawan sehari-hari?"
Siapakah sesungguhnya anaknya itu?
Wanadri berdiri. Di tangannya
masih terpegang buku harian anaknya. Ia berjalan menuju kamar dan mendapatkan
anak itu tertidur pulas. Napasnya halus. Pelupuk matanya licin seperti diolesi
minyak. Bibirnya ranum memerah.
"Siapakah kamu?" bisik
Wanadri lembut, lebih kepada diri sendiri.
Ayah,
Ajarkanlah kesetiaan
kepadaku. Agar tak hanya jadi bualan, tetapi menjadi serat dalam dagingku.
Memang. Ada beberapa peristiwa aneh tentang perilaku
anaknya, yang membuat Wanadri tegang, cemas, sekaligus takjub. Pertama, saat ia
berumur tiga tahun. Pada saat itu Wanadri sungguh-sungguh merasa naas. Tidak
ada pekerjaan yang masuk hingga tabungannya ludes untuk bertahan hidup. Wanadri
sangat cemas dan mengutuk dirinya sendiri. Menghakimi dirinya sebagai orangtua
yang tidak becus. Bahkan untuk kebutuhan pokok anaknya pun ia harus berhutang.
Tetapi ia tidak mampu berkelit. Ia ingat betul bagaimana ia memarahi anaknya
karena anaknya tersebut tidak mau makan dan minum susu yang uangnya ia dapat
dari pinjam. Bahkan anaknya sampai menangis ketakutan, meski tetap tak mau
makan. Baru sehari kemudian anaknya itu mau makan dan minum seperti biasa.
Tetapi anehnya, sehari kemudian ia kembali mogok makan. Wanadri sunguh-sungguh
marah. Tetapi belum lagi tumpah emosinya, seorang tua tetangganya yang
kebetulan lewat nyeletuk, "Anak nggak mau makan itu biasa. Kalau sehari
makan sehari tidak, yaa....siapa tahu, mungkin dia sedang nDaud?"
Wanadri tercengang. Anak tiga
tahun melakukan puasa Daud? Ia tidak ingin percaya, tetapi setelah anaknya
melakukan pola makan demikian, ia menyerah, meski ia sangat cemas, khawatir
kalau anaknya sakit. Setelah Wanadri mendapatkan pekerjaan, anaknya
menghentikan kebiasaan makan melompat hari tersebut.
Peristiwa kedua pada saat
Saketi, anaknya itu, berumur lima
tahun. Oleh karena centang-perentang keinginannya untuk menemani anaknya dan
kemampuan fisik dan psikisnya terbatas, Wanadri mengalami stres. Ia jadi sering
marah dan membentak. Ia tahu itu tidak baik, tetapi ia tak mampu mengendalikan.
Jika pada saat demikian datang, Saketi hanya terdiam. Hal yang ia lakukan
kemudian adalah mengambil sapu kemudian menyapu lantai, atau mencuci piring dan
gelas yang masih teronggok di jerambah sumur. Wanadri mau nangis menghadapi
ketidakmampuannya. Wanadri merasa bahwa ia harus membebaskan diri dari himpitan
itu. Ia pun mengajak anaknya untuk berenang di telaga Perwitasari -sebuah
telaga berdebit raksasa dengan ukuran melingkar dua kali lapangan sepak bola,
dengan kedalaman tak seorang pun tahu pasti.
Pada saat itu, Saketi justru
tidak mau berenang. Ini sesuatu yang aneh, mengingat Saketi sangat suka bermain
air. Jadilah Wanadri berenang sendirian, melepaskan penat pikiran dengan air.
Berenang kian kemari, menyelam, melompat, seakan Wanadri lupa diri. Anaknya
hanya menunggui di pinggir telaga sambil terus memandang bapaknya. Peristiwa
tak dapat ditebak. Pada saat Wanadri berada di tengah telaga, perutnya terasa
mengejang. Ia mencoba melawan, tetapi kejang di perut serasa mencengkeram
seluruh kemampuannya berenang. Berkecipak tangan Wanadri bergerak serabutan. Ia
kemudian tak ingat apa pun. Dan ketika terbangun banyak orang merubungnya.
Anaknya menangis laiknya anak kecil kehilangan orangtua. Yang mengagetkan
Wanadri kemudian adalah ungkapan orang-orang yang merubungnya,
"Siapakah anak bapak
itu?"
Apa maksudnya? Wanadri tak dapat
menjawab, karena tak mengerti maksud pertanyaan itu.
"Siapakah anak kecil
itu?" tandas mereka lagi.
"Ya anak
saya...kenapa?"
"Bukan. Anak bapak tadi
berlari di atas air dan menyeret bapak, seperti ia sedang menyeret sesuatu di
daratan."
Wanadri tidak mengerti. Ia
memandang anaknya yang masih mewek dengan air mata berderai.
"Kamu tadi yang
menyelamatkan bapak dari tenggelam?"
"Yaa...," ujar dia
sambil merengek.
"Bagaimana?"
"Berenang..."
"Tidak! Dia tadi berlari!
Sumpah demi Tuhan! Anak kecil itu tadi berlari di atas air!"
Serentak orang-orang itu bicara
hal yang sama, nyaris keras seperti bantahan. Saketi semakin ketakutan dan
merangkul bapaknya. Wanadri segera memeluk anaknya dan mengakhiri kemustahilan
ini; pulang.
Benak Wanadri terus digumuli
ketakjuban. Siapakah kamu, anakku? gumamnya dalam hati sambil memandangi wajah
anaknya yang pulas tertidur. Tetapi perenungannya tidak tuntas. Sedari tadi ia
terganggu oleh suara pertengkaran tetangga sebelah. Di pelataran, Wanadri
melihat isteri Sokran si tukang becak, sedang mengusir suaminya,
"Macam bayi saja kamu! Uang
sekolah anakmu kamu makan! Kemarin kamu curi gajiku, sekarang berani-beraninya
kamu mau jual televisi hanya untuk berjudi!"
"Judi itu menganakkan uang.
Nanti kalau menang juga untuk siapa!?" bantah Sokran.
"Kapan kamu menjadi
pemenang!! Selamanya bayi ya tetap bayi! Minggat kamuu!"
Sementara mak dan bapaknya
terlibat dalam baratayudha itu, Kopet, anak lelaki satu-satunya pasangan
sangar itu terdiam sambil tangannya terus melap sepedanya. Drama pun selesai.
Wanadri masuk.
Rasa takjub kepada anaknya
mengalahkan peristiwa rumah tangga Sokran. Tiba-tiba terlintas kecemasan dalam
diri Wanadri bahwa dia kelak tidak akan mampu menghadapi anaknya. Karena
tiba-tiba saja ia merasa menjadi orang asing kepada anaknya. "Adakah
antara anak dan orangtua itu sesungguhnya asing?" batin Wanadri. Adakah
orangtua-anak yang sungguh-sungguh bisa memahami siapa mereka sesungguhnya, dan
hubungan macam apa yang sesungguhnya berlangsung? Jika ketidaktahuan muncul,
tidakkah sebaiknya sesama manusia saling menghormati, supaya tidak membuat
kesalahan.
Wanadri meraih tangan anaknya di
tengah lelap tidurnya. Ia cium punggung tangan anaknya, seperti ia mencium
tangan kiai. Hatinya bergumam, "Kamu anakku, kamu bukan anakku. Mungkin
saja kita ini kawan yang dijodohkan. Shubanallah.... ***
No comments:
Post a Comment